Perspektif Sosiologi terhadap Kasus “Bunuh Diri Siswi SMPN 147 Jakarta”

Teori Sosiologi Karl Marx
Teori Sosiologi Karl Marx


Cgtrend.blogspot.com - Bunuh diri merupakan tindakan seseorang dengan melukai dirinya sendiri untuk menghilangkan nyawanya. Umumnya orang-orang menganggap bahwa bunuh diri ini merupakan subjek kajian disiplin ilmu Psikologi. Namun, nyatanya Sosiologi juga mengkaji hal ini melalui buku le Suicide oleh “Emile Durkheim”.


Perhatian utama Durkheim bukan memahami tindakan bunuh diri sebagai suatu tindakan individu melainkan dalam turun naiknya angka bunuh diri itu.


Angka bunuh diri dilihat sebagai fakta sosial dan bukan fakta individu, dan yang diharapkan dari analisa itu adalah bahwa bunuh diri dipengaruhi oleh fakta sosial lainnya seperti tingkat atau tipe integrasi sosial dalam suatu kelompok masyarakat.


Bunuh diri yang yang dilihat melalui angka pada turun-naiknya, merupakan sebuah frekuensi fakta sosial yang ada di masyarakat. Bahwa tindakan bunuh diri tersebut dilakukan di berbagai tempat sehingga berlaku secara umum.


Segala tindakan dalam bunuh diri sangat dipengaruhi oleh kesadaran diluar dirinya, artinya gejala-gejala sosial yang hadir akan turut membentuk dari apa yang dijumpainya.


Dalam teori bunuh diri Durkheim terdapat 4 tipe yang dianggap sebagai penyebab atau asal muasal terjadinya fenomena bunuh diri.


Pertama tipe egoistik (egoistic suicide) yakni tipe bunuh diri yang diakibatkan karena rendahnya tingkat integritas sosial dalam suatu kelompok. Renggangnya interaksi membuat individu merasa terasingkan dari kelompoknya sehingga dapat menyebabkan individu tersebut melakukan bunuh diri.


Kedua, tipe altruisme (altruism suicide) merupakan bunuh diri yang terjadi karena adanya integrasi sosial yang terlalu kuat. Jiwa solidaritas yang dimiliki sangat tinggi, sehingga aturan-aturan yang diciptakan dalam kelompoknya akan diikuti.


Ketiga, tipe bunuh diri anomik (anomic suicide) merupakan bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya aturan tujuan dan aspirasi individu. Kekaburan norma dalam masyarakat menjadikan individu-individu bingung dan tanpa arah. Nilai dan norma yang selama ini dijadikan sebagai patokan, bergeser fungsinya menjadi abu-abu.


Terakhir tipe fatalistik (fatalistic suicide) merupakan bunuh diri yang terjadi karena adanya aturan-aturan yang berada di masyarakat meningkat. Aturan yang terlalu kuat sangat membatasi terhadap gerak masyarakat. Individu yang tidak siap menjadi tertekan oleh tatanan nilai dan norma dalam masyarakat.


Kasus bunuh diri siswi SMPN 147 Jakarta memang cukup menggemparkan terutama di dunia pendidikan. Pasalnya SN, siswi tersebut melakukan tindakan bunuh diri di sekolahnya. SN melakukan hal seperti itu diduga karena SN merupakan korban bullying di sekolahnya. Pengalaman buruk itu diketahui setelah chat whatsapp SN dan kakaknya beredar di dunia maya. Ia mengaku sudah tidak sanggup menanggung bebannya lagi. Ditambah sosok ibu yang selama ini menjadi figur dan tempatnya untuk berkeluh kesah sudah meninggal dunia. Hal ini membuat dirinya semakin depresi dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Jika dikaitkan dengan tipe bunuh diri yang dikemukakan oleh “Emile Durkheim” dalam teori suicide, kasus ini termasuk dalam tipe bunuh diri egoistik karena integrasi sosial yang sangat lemah.


Integrasi sosial yang lemah, membuat individu merasa menanggung beban hidup seorang diri, tanpa teman untuk berbagi keluh kesah. Partisipasi dalam hubungan sosial yang dianggap sangat kurang akan membuat dirinya kurang diterima oleh kelompok dan masyarakat secara sempurna. Hal inilah yang menimbulkan kasus bullying pada SN. Walaupun dikatakan bahwa SN merupakan siswi baik dan memiliki banyak teman, tetap jika dirinya merasa tidak diterima baik oleh kelompok dan masyarakat maka ia akan terasingkan dan merasa bukan bagian dari kelompok ataupun masyarakat tersebut.


Bullying bisa menyebabkan bunuh diri karena korban merasa terkucilkan. Korban yang merasa terkucilkan dan tertekan, hingga akhirnya mengalami depresi dan memilih bunuh diri sebagai jalan keluar dari keadaannya yang sekarang.


Kasus bunuh diri di Indonesia memang belum terlalu nampak penanganannya. Meskipun Kementerian Kesehatan sempat membuat layanan pencegahan bunuh diri namun masih dirasa belum maksimal dan kurang solutif dalam mengurangi angka bunuh diri yang terus bertambah.


Ada baiknya kita sebagai makhluk sosial juga lebih peka terhadap kondisi orang-orang yang ada di sekitar kita. Banyak segelintir orang yang mampu memakai “topeng” dengan sangat baik sehingga terlihat normal dan biasa-biasa saja. Namun, tanpa kita ketahui ia menanggung beban psikis yang dipengaruhi oleh perlakukan yang ia peroleh dari lingkungan sekitarnya.


Terkait kasus tersebut peran keluarga juga sangat penting dalam pencegahan fenomena ini, sebab dengan kondisi keluarga yang sehat seluruh anggota keluarganya akan merasa nyaman dan leluasa untuk berkeluh kesah sehingga indikasi bunuh diri dapat dicegah sedari dini.


Bunuh diri merupakan tindakan seseorang dengan melukai dirinya sendiri untuk menghilangkan nyawanya. Umumnya orang-orang menganggap bahwa bunuh diri ini merupakan subjek kajian disiplin ilmu Psikologi. Namun, nyatanya Sosiologi juga mengkaji hal ini melalui buku le Suicide oleh “Emile Durkheim”. Perhatian utama Durkheim bukan memahami tindakan bunuh diri sebagai suatu tindakan individu melainkan dalam turun naiknya angka bunuh diri itu. Angka bunuh diri dilihat sebagai fakta sosial dan bukan fakta individu, dan yang diharapkan dari analisa itu adalah bahwa bunuh diri dipengaruhi oleh fakta sosial lainnya seperti tingkat atau tipe integrasi sosial dalam suatu kelompok masyarakat. Bunuh diri yang yang dilihat melalui angka pada turun-naiknya, merupakan sebuah frekuensi fakta sosial yang ada di masyarakat. Bahwa tindakan bunuh diri tersebut dilakukan di berbagai tempat sehingga berlaku secara umum. Segala tindakan dalam bunuh diri sangat dipengaruhi oleh kesadaran diluar dirinya, artinya gejala-gejala sosial yang hadir akan turut membentuk dari apa yang dijumpainya.


Dalam teori bunuh diri Durkheim terdapat 4 tipe yang dianggap sebagai penyebab atau asal muasal terjadinya fenomena bunuh diri.


Pertama tipe egoistik (egoistic suicide) yakni tipe bunuh diri yang diakibatkan karena rendahnya tingkat integritas sosial dalam suatu kelompok. Renggangnya interaksi membuat individu merasa terasingkan dari kelompoknya sehingga dapat menyebabkan individu tersebut melakukan bunuh diri.


Kedua, tipe altruisme (altruism suicide) merupakan bunuh diri yang terjadi karena adanya integrasi sosial yang terlalu kuat. Jiwa solidaritas yang dimiliki sangat tinggi, sehingga aturan-aturan yang diciptakan dalam kelompoknya akan diikuti.


Ketiga, tipe bunuh diri anomik (anomic suicide) merupakan bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya aturan tujuan dan aspirasi individu. Kekaburan norma dalam masyarakat menjadikan individu-individu bingung dan tanpa arah. Nilai dan norma yang selama ini dijadikan sebagai patokan, bergeser fungsinya menjadi abu-abu.


Terakhir tipe fatalistik (fatalistic suicide) merupakan bunuh diri yang terjadi karena adanya aturan-aturan yang berada di masyarakat meningkat.


Aturan yang terlalu kuat sangat membatasi terhadap gerak masyarakat. Individu yang tidak siap menjadi tertekan oleh tatanan nilai dan norma dalam masyarakat.


Kasus bunuh diri siswi SMPN 147 Jakarta memang cukup menggemparkan terutama di dunia pendidikan. Pasalnya SN, siswi tersebut melakukan tindakan bunuh diri di sekolahnya. SN melakukan hal seperti itu diduga karena SN merupakan korban bullying di sekolahnya. Pengalaman buruk itu diketahui setelah chat whatsapp SN dan kakaknya beredar di dunia maya. Ia mengaku sudah tidak sanggup menanggung bebannya lagi. Ditambah sosok ibu yang selama ini menjadi figur dan tempatnya untuk berkeluh kesah sudah meninggal dunia. Hal ini membuat dirinya semakin depresi dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Jika dikaitkan dengan tipe bunuh diri yang dikemukakan oleh “Emile Durkheim” dalam teori suicide, kasus ini termasuk dalam tipe bunuh diri egoistik karena integrasi sosial yang sangat lemah.


Integrasi sosial yang lemah, membuat individu merasa menanggung beban hidup seorang diri, tanpa teman untuk berbagi keluh kesah. Partisipasi dalam hubungan sosial yang dianggap sangat kurang akan membuat dirinya kurang diterima oleh kelompok dan masyarakat secara sempurna.


Hal inilah yang menimbulkan kasus bullying pada SN. Walaupun dikatakan bahwa SN merupakan siswi baik dan memiliki banyak teman, tetap jika dirinya merasa tidak diterima baik oleh kelompok dan masyarakat maka ia akan terasingkan dan merasa bukan bagian dari kelompok ataupun masyarakat tersebut.


Bullying bisa menyebabkan bunuh diri karena korban merasa terkucilkan. Korban yang merasa terkucilkan dan tertekan, hingga akhirnya mengalami depresi dan memilih bunuh diri sebagai jalan keluar dari keadaannya yang sekarang. Kasus bunuh diri di Indonesia memang belum terlalu nampak penanganannya. Meskipun Kementerian Kesehatan sempat membuat layanan pencegahan bunuh diri namun masih dirasa belum maksimal dan kurang solutif dalam mengurangi angka bunuh diri yang terus bertambah.


Ada baiknya kita sebagai makhluk sosial juga lebih peka terhadap kondisi orang-orang yang ada di sekitar kita. Banyak segelintir orang yang mampu memakai “topeng” dengan sangat baik sehingga terlihat normal dan biasa-biasa saja. Namun, tanpa kita ketahui ia menanggung beban psikis yang dipengaruhi oleh perlakukan yang ia peroleh dari lingkungan sekitarnya. Terkait kasus tersebut peran keluarga juga sangat penting dalam pencegahan fenomena ini ya sobat cgtrend.blogspot.com, sebab dengan kondisi keluarga yang sehat seluruh anggota keluarganya akan merasa nyaman dan leluasa untuk berkeluh kesah sehingga indikasi bunuh diri dapat dicegah sedari dini.

Posting Komentar untuk "Perspektif Sosiologi terhadap Kasus “Bunuh Diri Siswi SMPN 147 Jakarta”"