Zakat merupakan salah satu ibadah maliyah (ibadah yang berwujud harta) yang mana ketentuan, cara pengumpulan dan pendistribusiannya sudah diatur dalam syari’at dengan aturan yang baku.
Termasuk al-Ashnaf al-Tsamaniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat) yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah golongan Amil.
Apakah yang dimaksud Amil? Dalam hal ini mari lihat beberapa pendapat para fuqaha’ dari berbagai mazhab yang dirangkum dalam artikel cgtrend.blogspot.com, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ السُّعَاةُ فِي قَبْضِهَا مِنْ أَهْلِهَا وَوَضْعِهَا فِي مُسْتَحِقِّيْهَا يُعْطُوْنَ ذَلِكَ باِلسِّعَايَةِ أَغْنِيَاء كَانُوْا أَوْ فُقَرَاءُ
Artinya: Amil adalah para wali1 yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin.
Sedangkan, Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab as-Syafi’i, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمْ اَلْمُتَوَلَّوْنَ جِبَايَتَهَا وَتَفْرِيْقِهَا فَيُدْفَعُ إِلَيْهِمْ مِنْهَا قَدْرَ أُجُوْرِ أَمْثَالِهِمْ
Artinya: "Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka."
Imam al-Qurthubi (w. 671 H), dari mazhab Maliki, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا يَعْنِيْ السُّعَاةُ وَالجُبَّاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمْ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكاَةِ بِالتَّوْكِيْلِ عَلَى ذَلِكَ
Artinya: "Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah."
Imam as-Syaukani (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyah, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا أَيْ السُّعَاةُ وَالْجُبَاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمُ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُمْ يَسْتَحِقُّوْنَ مِنْهَا قِسْطًا
Artinya: "Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memunggut zakat, yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat itu."
Imam as-Sarakhsi, dari mazhab Hanafi, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ الَّذِيْنَ يَسْتَعْمِلُهُمُ الإمَامُ عَلَى جَمْعِ الصَّدَقَاتِ وَيُعْطِيْهِمْ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ كِفَايَتَهُمْ وَكِفَايَةَ أَعْوَانِهِمْ وَلاَ يُقَدَّرُ ذَلِكَ بِالثَّمَنِ
Artinya: "Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah)."
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ dari berbagai mazhab di atas, untuk memaknainya dapat disimpulkan, bahwa Amil Zakat adalah orang/wali yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada para mustahiq-nya.
Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam/Khalifah (kepala negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Imam/Khalifah.
Allah SWT berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Terjemahannya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. (QS at-Taubah [9]: 103).
Konteks perintah ayat ini, Khudz min amwalihim shadaqatan (ambillah sedekah/zakat dari sebagian harta mereka), bersifat memaksa, dan perintah tersebut ditujukan kepada Nabi SAW dalam kapasitas baginda sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau.
Karena itu, tidak ada pengertian Amil Zakat dalam khazanah fikih Islam, kecuali untuk menyebut orang-orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk tugas-tugas yang terkait dengan zakat.
Adapun apa yang berkembang saat ini, seperti lembaga amil zakat (LAZ) atau pembentukan amil zakat yang dilakukan di tiap-tiap masjid, maka mereka sebenarnya tidak mempunyai otoritas/kewenangan (shalahiyyah) sebagaimana yang dimiliki oleh Amil Zakat yang sesungguhnya.
Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa wajib zakat (muzakki), contohnya, sebagaimana kewenangan yang melekat pada Amil Zakat.
Ketika Amil Zakat ini tidak ada, karena ketiadaan mandat yang diberikan oleh Imam/Khalifah (kepala negara) kepada orang-orang tertentu, maka yang ada tinggal: orang yang wajib berzakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq).
Dalam konteks seperti ini, muzakki bisa saja membayarkan zakatnya langsung kepada mustahiq, tanpa melalui Amil, karena memang Amil-nya tidak ada. Namun, ia bisa juga mewakilkan kepada orang-orang tertentu untuk mendistribusikan zakatnya kepada para mustahiq. Hanya saja, status wakalah orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) kepada orang-orang ini berbeda dengan status wakalah Imam/Khalifah kepada ‘Amil Zakat.
Wakalah Imam/Khalifah meliputi wakalah untuk mengambil dengan paksa dari muzakki dan mendistribusikannya kepada yang berhak (mustahiq). Adapun wakalah muzakki hanyalah wakalah untuk mendistribusikan zakat sesuai dengan amanah yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Termasuk al-Ashnaf al-Tsamaniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat) yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah golongan Amil.
Apakah yang dimaksud Amil? Dalam hal ini mari lihat beberapa pendapat para fuqaha’ dari berbagai mazhab yang dirangkum dalam artikel cgtrend.blogspot.com, Imam at-Thabari (w. 310 H), yang juga mujtahid mutlak, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ السُّعَاةُ فِي قَبْضِهَا مِنْ أَهْلِهَا وَوَضْعِهَا فِي مُسْتَحِقِّيْهَا يُعْطُوْنَ ذَلِكَ باِلسِّعَايَةِ أَغْنِيَاء كَانُوْا أَوْ فُقَرَاءُ
Artinya: Amil adalah para wali1 yang diangkat untuk mengambil zakat dari orang berkewajiban membayarnya, dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Mereka (‘amil) diberi (bagian zakat) itu karena tugasnya, baik kaya ataupun miskin.
Sedangkan, Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab as-Syafi’i, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمْ اَلْمُتَوَلَّوْنَ جِبَايَتَهَا وَتَفْرِيْقِهَا فَيُدْفَعُ إِلَيْهِمْ مِنْهَا قَدْرَ أُجُوْرِ أَمْثَالِهِمْ
Artinya: "Amil adalah orang yang diangkat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan-nya. Mereka dibayar dari zakat itu sesuai dengan kadar upah orang-orang yang sepadan dengan mereka."
Imam al-Qurthubi (w. 671 H), dari mazhab Maliki, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا يَعْنِيْ السُّعَاةُ وَالجُبَّاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمْ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكاَةِ بِالتَّوْكِيْلِ عَلَى ذَلِكَ
Artinya: "Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah."
Imam as-Syaukani (w. 1250 H), dari mazhab Zaidiyah, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا أَيْ السُّعَاةُ وَالْجُبَاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمُ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكَاةِ فَإِنَّهُمْ يَسْتَحِقُّوْنَ مِنْهَا قِسْطًا
Artinya: "Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memunggut zakat, yang diutus oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat itu."
Imam as-Sarakhsi, dari mazhab Hanafi, menyatakan:
وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ الَّذِيْنَ يَسْتَعْمِلُهُمُ الإمَامُ عَلَى جَمْعِ الصَّدَقَاتِ وَيُعْطِيْهِمْ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ كِفَايَتَهُمْ وَكِفَايَةَ أَعْوَانِهِمْ وَلاَ يُقَدَّرُ ذَلِكَ بِالثَّمَنِ
Artinya: "Amil adalah orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah)."
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ dari berbagai mazhab di atas, untuk memaknainya dapat disimpulkan, bahwa Amil Zakat adalah orang/wali yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada para mustahiq-nya.
Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam/Khalifah (kepala negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Imam/Khalifah.
Allah SWT berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Terjemahannya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. (QS at-Taubah [9]: 103).
Konteks perintah ayat ini, Khudz min amwalihim shadaqatan (ambillah sedekah/zakat dari sebagian harta mereka), bersifat memaksa, dan perintah tersebut ditujukan kepada Nabi SAW dalam kapasitas baginda sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau.
Karena itu, tidak ada pengertian Amil Zakat dalam khazanah fikih Islam, kecuali untuk menyebut orang-orang yang diangkat oleh Imam/Khalifah (kepala negara) untuk tugas-tugas yang terkait dengan zakat.
Adapun apa yang berkembang saat ini, seperti lembaga amil zakat (LAZ) atau pembentukan amil zakat yang dilakukan di tiap-tiap masjid, maka mereka sebenarnya tidak mempunyai otoritas/kewenangan (shalahiyyah) sebagaimana yang dimiliki oleh Amil Zakat yang sesungguhnya.
Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa wajib zakat (muzakki), contohnya, sebagaimana kewenangan yang melekat pada Amil Zakat.
Ketika Amil Zakat ini tidak ada, karena ketiadaan mandat yang diberikan oleh Imam/Khalifah (kepala negara) kepada orang-orang tertentu, maka yang ada tinggal: orang yang wajib berzakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq).
Dalam konteks seperti ini, muzakki bisa saja membayarkan zakatnya langsung kepada mustahiq, tanpa melalui Amil, karena memang Amil-nya tidak ada. Namun, ia bisa juga mewakilkan kepada orang-orang tertentu untuk mendistribusikan zakatnya kepada para mustahiq. Hanya saja, status wakalah orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) kepada orang-orang ini berbeda dengan status wakalah Imam/Khalifah kepada ‘Amil Zakat.
Wakalah Imam/Khalifah meliputi wakalah untuk mengambil dengan paksa dari muzakki dan mendistribusikannya kepada yang berhak (mustahiq). Adapun wakalah muzakki hanyalah wakalah untuk mendistribusikan zakat sesuai dengan amanah yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Posting Komentar untuk "MEMAKNAI AMIL SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT"