Idul Adha merupakan hari raya ummat Islam yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah tahun Hijriyah
cgtrend.blogspot.com - Segenap ummat Islam selalu mengagungkan nama kebesaran Allah, takbir selama empat hari berturut-turut. Kendatipun peristiwa ini terjadi secara rutin tiap tahun, namun Idul Adha selalu memberikan makna bagi setiap ummat Islam.
Bahkan dalam batas-batas tertentu memiliki makna juga bagi ummat lain, karena Idul Adha memiliki misi kemanusiaan yang bersifat universal. Setidak-tidaknya ada tiga hal penting yang terkandung dalam memaknai Idul Adha.
Pertama, pelaksanaan ibadah haji. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh ummat Islam yang mampu (istathoah), menguasai pengetahuan ibadah haji dan mampu mengamalkannya, mampu membiayai segala rangkaian ibadah haji ke Baitullah, mamiliki kesehatan fisik dan psikis untuk menunaikan segala rukun dan sunnah haji ke Baitullah, dan merasa aman dalam proses perjalanan haji.
Memang kunci utama naik haji adalah adanya ketaqwaan untuk memenuhi panggilan Allah swt dalam menunaikan haji. Atas dasar inilah tidak sedikit orang yang mampu secara ekonomik, mereka tidak serta merta terpanggil untuk beribadah haji, alasannya bahwa mereka belum dipanggil oleh Allah swt. Padahal sudah ditegaskan bahwa siapapun yang mengaku Islam dan sudah memiliki biaya untuk naik haji, maka pada dirinya sudah terkena hukum wajib untuk haji. Bila sampai akhir hayatnya tidak pernah naik haji, maka mereka terkena dosa besar, bahkan yang bersangkutan tetap masih dikenai “hutang”. Those who fulfill these conditions and on whom Hajj becomes obligatory but they do not perform it, are great sinners (Dr. Muhammad Syarif Alchaudry dalam tulisannya Introduction to Islam).
Karena itu ummat Islam yang merasa mampu, bersegeralah menata niatnya untuk menunaikan haji, agar terhindar dari kerugian yang dapat merepotkan perjalanan hidupnya kelak. Jika haji itu hanya difahami sebagai amal yang diwajibkan saja, maka ada kesan bahwa ibadah haji lebih cenderung untuk bersifat eksternal. Padahal yang lebih baik, bahwa ibadah haji seharusnya bersifat internal. Artinya ibadah haji harus dipandang sebagai kebutuhan untuk melakukan pembersihan diri dan meningkatkan ketaqwaan, sehingga eksistensi dirinya semakin lebih bermakna, bermartabat, dan terhormat di hadapan Allah swt. Coba tanya kepada ummat Islam yang pernah naik haji, tak seorangpun yang tidak ingin kembali di masa-masa berikutnya, kendatipun proses haji sering kali melelahkan. Namun semuanya itu tetap mengasyikkan dan menyenangkan, karena jama’ah haji tidak hanya bisa khusuk beribadah di rumah Allah swt, melainkan juga bertemu dengan saudaranya yang se-tauhid, sehingga secara tidak sadar terbangun sikap yang terpuji yang terwujud dalam perilaku respek antar sesama.
Kedua, perintah untuk ber-qurban. Berqurban merupakan ibadah yang dianjurkan kepada ummat Islam untuk melakukannya, karena ibadah qurban tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, rabbil ‘izzati, melainkan mendekatkan diri kita dengan sesama insan, terutama yang seaqidah ketika di Masjidil Haram dan di Arafah ketika wuquf. Dari peristiwa ini ada sejumlah nilai yang sangat berharga, di antaranya: betapa cinta kasih sayang antara anak dan Bapak yang dilandasi keikhlasan pasti mendapatkan penghargaan dari Allah swt (sebagaimana Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as); betapa ragam aliran dan madzhab yang ada dan menyatu di Makkah tidak merusak keutuhan akidah ummat Islam yang dilandasi saling mengenal dan menghargai dengan penuh kasih sayang;
Ketiga, turunnya wahyu Allah swt terakhir untuk Rasulullah saw. Jika Idul Fitri diawali dengan bulan Ramadan suatu waktu yang dipilih oleh Allah swt untuk menurunkan wahyu yang pertama. Maka wahyu yang terakhir diturunkan menjelang puncak Idul Adha, saat haji wada’ Rasulullah saw pada tahun ke 10 H, yang berbunyi:
Artinya: "Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah aku sempurnakan nikmatku atasmu dan Aku rela Islam sebagai agama bagimu."
Ayat ini sungguh menggambarkan bahwa keseluruhan ayat AlQur’an telah diturunkan kepada Rasulullah saw dan diyakini sudah sempurna, karena itu sudah saatnya beliau dipanggil untuk menghadap-Nya untuk selama-lamanya, bahkan ditegaskan pula bahwa Islam sebagai agama yang diridloi-Nya. Artinya bahwa Al-Qur’an merupakan suatu pegangan hidup yang tidak hanya bermanfaat bagi ummat Islam saja, melainkan juga bagi semua makhluk di seluruh alam sampai akhir jaman.
Agar Al-Qur-an memberikan manfaat optimal, dalam mengimplementasikannya secara efektif dapat dilakukan oleh semua orang terutama ayat-ayat muhkamat-nya, sedangkan dalam batas-batas tertentu diperlukan orang-orang yang ahli dalam bidang terutama untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.
Baca: KATA UCAPAN SELAMAT HARI IDUL ADHA TERBARU
Akhirnya, pelajaran yang dapat kita ambil dalam merayakan Idul Adha pada tahun ini adalah, kita dapat meneguhkan tauhid kita dan tidak meng-ilah-kan makhluk lain mengokohkan ukhuwah islamiyah dan persaudaraan antar manusia dan tidak membiarkan benturan antar faham dan golongan bahkan antar suku dan bangsa, bersedia berkorban jiwa, harta, waktu, dan lainnya untuk mengukuhkan hubungan vertikal dan horizontal, dan menjadikan Al-Qur-an (Al-Kitaab) dan As-Sunnah sebagai pegangan hidup bagi ummat Islam dan ummat lainnya sampai akhir jaman karena Rasulullah saw diperintahkan untuk rahmat bagi seluruh alam.
Dr. H. Rochmat Wahab, MA, adalah dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta
Selamat hari raya Idul Adha bagi yang merayakan khususnya pengunjung cgtrend.blogspot.com!!!
cgtrend.blogspot.com - Segenap ummat Islam selalu mengagungkan nama kebesaran Allah, takbir selama empat hari berturut-turut. Kendatipun peristiwa ini terjadi secara rutin tiap tahun, namun Idul Adha selalu memberikan makna bagi setiap ummat Islam.
Bahkan dalam batas-batas tertentu memiliki makna juga bagi ummat lain, karena Idul Adha memiliki misi kemanusiaan yang bersifat universal. Setidak-tidaknya ada tiga hal penting yang terkandung dalam memaknai Idul Adha.
Pertama, pelaksanaan ibadah haji. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh ummat Islam yang mampu (istathoah), menguasai pengetahuan ibadah haji dan mampu mengamalkannya, mampu membiayai segala rangkaian ibadah haji ke Baitullah, mamiliki kesehatan fisik dan psikis untuk menunaikan segala rukun dan sunnah haji ke Baitullah, dan merasa aman dalam proses perjalanan haji.
Memang kunci utama naik haji adalah adanya ketaqwaan untuk memenuhi panggilan Allah swt dalam menunaikan haji. Atas dasar inilah tidak sedikit orang yang mampu secara ekonomik, mereka tidak serta merta terpanggil untuk beribadah haji, alasannya bahwa mereka belum dipanggil oleh Allah swt. Padahal sudah ditegaskan bahwa siapapun yang mengaku Islam dan sudah memiliki biaya untuk naik haji, maka pada dirinya sudah terkena hukum wajib untuk haji. Bila sampai akhir hayatnya tidak pernah naik haji, maka mereka terkena dosa besar, bahkan yang bersangkutan tetap masih dikenai “hutang”. Those who fulfill these conditions and on whom Hajj becomes obligatory but they do not perform it, are great sinners (Dr. Muhammad Syarif Alchaudry dalam tulisannya Introduction to Islam).
Karena itu ummat Islam yang merasa mampu, bersegeralah menata niatnya untuk menunaikan haji, agar terhindar dari kerugian yang dapat merepotkan perjalanan hidupnya kelak. Jika haji itu hanya difahami sebagai amal yang diwajibkan saja, maka ada kesan bahwa ibadah haji lebih cenderung untuk bersifat eksternal. Padahal yang lebih baik, bahwa ibadah haji seharusnya bersifat internal. Artinya ibadah haji harus dipandang sebagai kebutuhan untuk melakukan pembersihan diri dan meningkatkan ketaqwaan, sehingga eksistensi dirinya semakin lebih bermakna, bermartabat, dan terhormat di hadapan Allah swt. Coba tanya kepada ummat Islam yang pernah naik haji, tak seorangpun yang tidak ingin kembali di masa-masa berikutnya, kendatipun proses haji sering kali melelahkan. Namun semuanya itu tetap mengasyikkan dan menyenangkan, karena jama’ah haji tidak hanya bisa khusuk beribadah di rumah Allah swt, melainkan juga bertemu dengan saudaranya yang se-tauhid, sehingga secara tidak sadar terbangun sikap yang terpuji yang terwujud dalam perilaku respek antar sesama.
Kedua, perintah untuk ber-qurban. Berqurban merupakan ibadah yang dianjurkan kepada ummat Islam untuk melakukannya, karena ibadah qurban tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, rabbil ‘izzati, melainkan mendekatkan diri kita dengan sesama insan, terutama yang seaqidah ketika di Masjidil Haram dan di Arafah ketika wuquf. Dari peristiwa ini ada sejumlah nilai yang sangat berharga, di antaranya: betapa cinta kasih sayang antara anak dan Bapak yang dilandasi keikhlasan pasti mendapatkan penghargaan dari Allah swt (sebagaimana Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as); betapa ragam aliran dan madzhab yang ada dan menyatu di Makkah tidak merusak keutuhan akidah ummat Islam yang dilandasi saling mengenal dan menghargai dengan penuh kasih sayang;
Ketiga, turunnya wahyu Allah swt terakhir untuk Rasulullah saw. Jika Idul Fitri diawali dengan bulan Ramadan suatu waktu yang dipilih oleh Allah swt untuk menurunkan wahyu yang pertama. Maka wahyu yang terakhir diturunkan menjelang puncak Idul Adha, saat haji wada’ Rasulullah saw pada tahun ke 10 H, yang berbunyi:
Alyauma akmaltu lakum diinakum, waatmamtu ‘alaikum ni’matii waradliitu lakumul Islaama diinaa.(QS. Al-Ma’idah :3)
Artinya: "Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah aku sempurnakan nikmatku atasmu dan Aku rela Islam sebagai agama bagimu."
Ayat ini sungguh menggambarkan bahwa keseluruhan ayat AlQur’an telah diturunkan kepada Rasulullah saw dan diyakini sudah sempurna, karena itu sudah saatnya beliau dipanggil untuk menghadap-Nya untuk selama-lamanya, bahkan ditegaskan pula bahwa Islam sebagai agama yang diridloi-Nya. Artinya bahwa Al-Qur’an merupakan suatu pegangan hidup yang tidak hanya bermanfaat bagi ummat Islam saja, melainkan juga bagi semua makhluk di seluruh alam sampai akhir jaman.
Agar Al-Qur-an memberikan manfaat optimal, dalam mengimplementasikannya secara efektif dapat dilakukan oleh semua orang terutama ayat-ayat muhkamat-nya, sedangkan dalam batas-batas tertentu diperlukan orang-orang yang ahli dalam bidang terutama untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.
Baca: KATA UCAPAN SELAMAT HARI IDUL ADHA TERBARU
Akhirnya, pelajaran yang dapat kita ambil dalam merayakan Idul Adha pada tahun ini adalah, kita dapat meneguhkan tauhid kita dan tidak meng-ilah-kan makhluk lain mengokohkan ukhuwah islamiyah dan persaudaraan antar manusia dan tidak membiarkan benturan antar faham dan golongan bahkan antar suku dan bangsa, bersedia berkorban jiwa, harta, waktu, dan lainnya untuk mengukuhkan hubungan vertikal dan horizontal, dan menjadikan Al-Qur-an (Al-Kitaab) dan As-Sunnah sebagai pegangan hidup bagi ummat Islam dan ummat lainnya sampai akhir jaman karena Rasulullah saw diperintahkan untuk rahmat bagi seluruh alam.
Dr. H. Rochmat Wahab, MA, adalah dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta
Selamat hari raya Idul Adha bagi yang merayakan khususnya pengunjung cgtrend.blogspot.com!!!
Posting Komentar untuk "MAKNA IDUL ADHA MENURUT DR. H. ROCHMAT WAHAB, MA"